Calon legislatif asal PDI-Perjuangan, Ima Mahdiah (27), akan duduk di kursi Dewan di Kebon Sirih, Jakarta, dalam waktu dekat.
Ima salah satu dari 106 anggota DPRD periode 2019-2024 yang ditetapkan KPU DKI.
Staf mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ini berhasil meraup 30.591 suara dari Dapil 10 Jakarta Barat, saat Pemilu Legislatif 2019 lalu.
Perkenalan alumnus Universitas Paramadina ini dengan Ahok dimulai saat ia masih duduk di bangku kuliah jurusan hubungan internasional.
Dosennya kala itu, Bima Arya -yang kini menjabat Wali Kota Bogor- memberinya tugas “menempel” keseharian anggota DPR RI pada 2010.
Singkat cerita, pilihan jatuh pada Ahok yang kala itu jadi anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar.
Ima dan rekannya kelelahan menempel Ahok yang saat itu tak henti-henti menjumpai warga.
Komunikasi dengan pria kelahiran Belitung itu pun bertahan sampai Ahok berniat mencalonkan diri jadi DKI 2 mendampingi Joko Widodo jelang Pilgub DKI 2012.
Sebagai bagian tim sukses, Ima gencar mengumpulkan KTP. Saat itu, Ahok belum dipastikan maju lewat jalur parpol.
Dia pun rutin menerima keluhan warga selama mengkampanyekan Ahok.
Ketika Ahok terpilih jadi wakil gubernur, lalu naik jabatan menjadi gubernur DKI setelah Jokowi menjadi Presiden RI, Ima setia mendampingi sebagai stafnya.
Ingin kembalikan program Ahok
Ima secara terang-terangan mengakui gagasan Ahok jadi acuannya kelak di DPRD.
Ia meminta kepada PDI-P agar ditempatkan di Komisi E DPRD DKI yang bergelut dalam bidang kesejahteraan rakyat, menyangkut kesehatan, pendidikan, lansia, pemuda dan olahraga, pemberdayaan perempuan, serta perlindungan anak.
Isu kesehatan dan pendidikan jadi dua hal yang akan ia kembalikan pada standar kebijakan Ahok.
“Karena ini sinkron dengan program Pak Ahok kan melalui aplikasi ‘Jangkau’ yang fokus ke pendidikan dan kesehatan,” kata Ima saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (14/8/2019) siang.
Ima menilai, beberapa program yang dinilainya oke saat era kepemimpinan Ahok, kini mengalami stagnan.
Bahkan, dia melihat ada penurunan di era kepemimpinan Anies Baswedan selama 2 tahun belakangan. Itu berdasarkan laporan warga selama dia kampanye di dapilnya.
“Masalah pendidikan, keluhan mereka lebih ke KJP (Kartu Jakarta Pintar). Saat saya survei blusukan, saya lihat ada yang kondisinya tidak mampu, tapi mereka tidak dapat KJP. Yang mampu, dia dapat,” jelas Ima.
“Dulu, zaman Pak Ahok itu bisa dapat tambahannya sekitar Rp 1 juta, sekarang Rp 600.000. Masyarakat yang tadinya dapat tiba-tiba diberhentikan. Jangankan dari Dinas Pendidikan, dari gurunya pun tidak dapat informasi kenapa mereka enggak dapat (KJP) lagi, apa kekurangannya,” lanjutnya.
Pada masa kampanye, Ima doyan blusukan hingga tiga titik dalam sehari. Ia menyebar nomor ponselnya sebagai media pengaduan masyarakat.
Dari sana, Ima mengaku menerima laporan bahwa beberapa oknum di sekolah-sekolah kerap meminta pungutan saat orangtua murid mendaftar KJP Plus, modifikasi program KJP ala Anies Baswedan.
Keluhan soal KJP rutin diterima Ima setiap blusukan.
Pada bidang kesehatan, Ima berharap agar instrumen kesehatan di naungan Pemprov DKI Jakarta bisa melayani warga dengan ramah.
Berdasarkan hasil blusukan, warga kerap mengaku dijuteki oleh tenaga kesehatan di puskesmas dan RSUD, terutama lantaran menggunakan BPJS Kesehatan.
“Pada bilangnya, pakai BPJS kok jadi dipersulit, ditangani kurang serius. Masyarakat berasa kok kita seperti dinomorduakan sama yang bayar dan asuransi,” jelas Ima.
Mengenai sengkarut sistem BPJS Kesehatan yang terjadi dalam skala nasional, Ima menolak bicara banyak.
Ia hanya ingin agar tenaga kesehatan di Ibu Kota mampu melayani para pasien dengan ramah tanpa membeda-bedakan jalur pembayaran.
“Ini soal pelayanan. Kalau bisa, dokter seperti dulu zaman Pak Ahok, kan mesti senyum. Karena, walaupun keadaan masyarakat memang berobat gratis, jangan dijutekin. Memang enggak semua kayak gitu sih. Cuma mungkin ada beberapa oknum lagi capek jadi jutek apa gimana,” Ima menjelaskan.
Ia mengaku bakal mengusulkan penambahan RSUD di DKI. Menurut dia, jumlah RSUD yang ada di Jakarta sudah tak cukup melayani warga.
“Saya pikir harus ada tambahan satu rumah sakit. Dulu kita mau ada RS Sumber Waras kan belum jadi. Ini saya pengin biar masyarakat tidak numpuk. Karena saat saya ke rumah sakit, jenguk warga yang sakit, itu sudah numpuk sekali di ruang kelas gratisnya,” kata dia.
Program Anies
Persoalan lansia juga akan jadi urusan Ima kelak apabila jadi bergelut di Komisi E DPRD DKI.
Ima teringat satu program Gubernur Anies yang dinilai cukup baik, setelah sebelumnya merasa bahwa pemerintahan DKI saat ini minim terobosan. Program itu, yakni Kartu Lansia Jakarta.
“Itu (Kartu Lansia Jakarta) kan memang sudah dari zaman Bapak (Ahok). Jadi, Pak Ahok waktu 2016 sudah mulai menerbitkan kartu lansia, tapi untuk trial, belum disahkan di APBD. Karena beliau dipotong cuti kampanye, terus ternyata beliau kalah, setidaknya Pak Anies bisa meneruskan,” kata Ima.
“Mungkin itu jadi salah satu program bagus yang Anies bisa, melanjutkan ide Pak Ahok soal kartu lansia,” imbuhnya.
Program Kartu Jakarta Lansia, kata Ima, akan jadi salah satu program yang akan ia pantau ketat selain persoalan KJP Plus.
Soalnya, selama masa kampanye, Ima hanya menemukan satu warga lansia yang memiliki kartu tersebut.
“Anggarannya harus tepat sasaran. Saya punya beberapa data rumah yang saya sambangi, mereka (lansia) benar-benar tidak mampu, anaknya tidak mampu membiayai karena punya kehidupan sendiri ngepas, tidurnya gabung dan tidak layak, tapi sudah daftar Kartu Jakarta Lansia enggak dapat. Saya pengin tahu, kenapa bisa salah sasaran,” tutur Ima.
Namun, dia belum mau bicara banyak soal penyusunan peraturan daerah di DPRD nanti. Alasannya, dia harus menunggu arahan partai.
“Saya tunggu putusan partai. Kalau perda yang mau digolin apa, itu masih dirapatin oleh PDI-P. Kan ini juga menyangkut partai, kita ingin juga program-program partai kita implementasikan di DPRD,” pungkasnya. [Kompas.com]